Organisme Beracun Penyebab Harmful Algal Bloom (HAB) : Alga Pyrodinium bahamense
Harmful Algal Bloom
(HAB) merupakan kejadian dimana sekelompok microalgae yang berbahaya berkembang
secara massal dan mendominasi kolom air. Kejadian tersebut dapat mengakibatkan
perubahan komunitas fitoplankton serta masalah lingkungan. HALLEGRAEFF
(2002), mendefenisikan HAB sebagai fenomena perairan dimana terjadi poliferasi
alga berbahaya, sehingga menimbulkan masalah bagi lingkungan berdasarkan konsep
dari Intergovernmental Oceano-graphic Comission, IOC-UNESCO. Kerugian
yang diakibatkan oleh fenomena tersebut yaitu, kematian massal dari ikan-ikan
budidaya, sumber makanan dari laut yang beracun, ketidaknyamanan wisatawan pantai
akibat gatal-gatal yang ditimbulkan dan sebagainya. Fenomena HAB sebagaian besar
disebabkan oleh alga yang tergolong dalam kelompok dinoflagellata.
Sumber Toksin
Dinoflagellata dapat
tumbuh dalam satu populasi monospesies yang besar karena memiliki sel-sel
renang yang saling tarik-menarik dengan sesamanya. Sebagai contoh,
sel-sel aktif penyebab PSP, Pyrodinium bahamense var. compressum di Teluk Kao,
Halmahera misalnya bisa mencapai kepadatan 2,3 juta sel/ml dalam sampel
plankton.
Pada umumnya, sel-sel vegetative yang dimiliki oleh dinoflagellata
dapat menghasilkan toksin bioaktif yang berbahaya sebab dapat menghambat
pertumbuhan fitopplankton lain serta dapat larut dalam air ataupun lemak.
Saat ini terdapat 11 marga dari dinoflagellate yang beracun, yakni Alexandrium,
Amphidinium, Dinophysis, Ostreopsis, Gambierdiscus, Gonyaulax, Gymnodinium, Gyrodinium,
Prorocentrum, Ptychodiscus, Pyrodinium serta 7 marga lain yang memiliki
cangkang (armoured spesies), dan 4 spesies tanpa cangkang (unarmoured
species).
Bahaya spesies beracun adalah peranannya dalam rantai dasar makanan dalam ekosistem. Toksin bioaktif dinoflagellata bekerja ada sistem hemolitik, neurotoksik dan gastrointestinal konsumernya. Diantara biota konsumer lainnya, bangsa kekerangan adalah konsumen mikroalgae terbesar. Golongan'filter feeder' yang berarti makan secara penyaringan tersebut mampu menyaring melalui insangnya partikel fitoplankton dalam jutaan sel/menit. Jika dinoflagellata toksik ikut termakan toksinnya akan terakumulasi dalam tubuh kerang tanpa 'menyakitinya'. Kerang beracun hidup normal dan kelihatannya normal, rasanya tidak berbeda dengan kerang yang tidak terkontaminasi, tetapi sudah menjadi sumber makanan beracun bagi lingkungannya. Dampak kontaminasi sumber makanan karena HAB antara lain 'Paralytic Shelfish Poisoning' (PSP), 'Amnesic Shellfish Poisoning' (ASP), 'Diarrhetic Shellfish Poisoning' (DSP), 'Neurotoxic Shellfish Poisoning' (NSP) 'Ciguatera Fish Poisoning' (CFP), tergantung jenis alga yang dikonsumsi oleh kekerangan. PSP paling berbahaya karena dapat menyebabkan kematian. PSP tidak hanya fatal pada manusia, tetapi bisa terjadi pada burung-burung, mamalia laut yang makan kerang beracun. Jenis-jenis dinoflagellata yang telah dilaporkan memproduksi PSP yaitu Alexandrium catenella, A. cohorticula, A. fundyense, A. fraterculus, A. leei, A. minutum, A. temarense, Gymnodinium catenatum dan Pyrodinium bahamense var. compressum atau Pbc.
Ciri-ciri Pyrodinium
bahamense
Pyrodinium
bahamense dicirikan oleh bioluminesensi tinggi (Seliger et al.,
1971), siklus seksual heterotalik (Wall dan Dale, 1969), dan profil toksin
sederhana (dc-STX, STX, neoSTX, B1 dan B2) (Usup et al., 2012). Pada
tahun 1980, status taksonomi spesies dinaikkan menjadi varietas, berdasarkan
variasi morfologi pada tahap motil, kemampuan produksi toksin PSP, dan
distribusi geografis (Steidinger et al., 1980). Namun, berdasarkan
analisis morfologi dan filogenetik spesimen (tahapan motil dan kista) dari 13
wilayah pesisir di berbagai perairan tropis dan subtropis, Mertens et al.
(2015) menunjukkan bahwa tidak ada kriteria yang konsisten untuk memisahkan
secara tegas kedua varietas hanya berdasarkan morfologi. Selain itu, Mertens et
al. (2015) mengungkapkan bahwa dalam clade Pyrodinium, baik ribotipe
Indo-Pasifik dan Atlantik-Karibia, P. bahamense adalah spesies yang
kompleks.
Menurut Balech (1985), sel-sel P. bahamense berbentuk polihedral dan bulat tidak beraturan, dengan puncak-puncak yang kuat di sepanjang jahitan dan cenderung terkompresi ketika mereka berada dalam rantai. Kebanyakan sel memiliki tulang belakang antapikal kiri yang berkembang dengan baik dan tulang belakang kanan yang lebih kecil yang merupakan perpanjangan dari daftar sulkus (Gambar 1A). Teka memiliki permukaan granular dan banyak pori-pori trikokista, terdapat pori di lempeng apikal 4′, dan kompleks pori apikal terdiri dari lempeng penutup granular berbentuk koma dan pori-pori 9-14. Kista berbentuk sferis, tipe chorate, dengan 152 prosesus tubular oblate dengan panjang yang bervariasi dan tersusun secara acak (Gambar 1D,E). Dinding yang tidak berwarna itu berlapis dua, dengan permukaan luar keropeng dan permukaan bagian dalam yang halus. Dalam kista hidup, sitoplasma kuning-hijau membungkus tubuh akumulasi merah (Gambar 1D) dan banyak butir pati (Morquecho et al., 2014). Tahap vegetatif mudah diidentifikasi dengan peralatan mikroskopis dasar, dan hampir tidak dapat dikacaukan dengan spesies lain. Sebaliknya, karena kesamaannya dengan kista dinoflagellata lain, tahap istirahat mungkin dikacaukan dengan spesies lain.
Kasus HAB di Indonesia
Terkait
dengan masalah HAB karena 'blooming' Pyrodinium bahamense var. compressum
atau Pbc, yaitu kasus PSP yang sudah terjadi sejak tahun 1994 di Ambon, atau
bahkan terjadi sebelumnya di Balang Tiku, Kalimantan Timur. Keracunan setelah
mengkonsumsi kerang tudai pernah dilaporkan menimpa hampir seluruh penduduk
Desa Balang Tiku, Kalimantan Timur, pada 12 Januari 1988 (ADNAN & SUTOMO,
1988). Pada kejadian tersebut dua orang meninggal dan 68 orang dirawat di
Puskesmas Nunukan. Walaupun gejala akut yang menimpa para korban tersebut mirip
dengan gejala keracunan PSP, tetapi penyebab sebenarnya belum diketahui dengan
jelas, karena tidak dilengkapi dengan data plankton atau toksisitas kerang yang
dimakan korban. Saat kejadian, pengetahuan tentang alga beracun di daerah
tersebut belum ada.
Pada bulan
Juli 1994, di Lata, Ambon pernah terjadi kasus keracunan PSP, menimpa korban 3
orang anak mati dan 33 orang dewasa dirawat di rumah sakit setelah makan 'bia
manis' (Hiatula chinensis) (WIYADNYANA et al., 1994). Pada waktu
yang hampir bersamaan, di Teluk Kao, Halmahera alga ini juga mengalami
perkembangan massal (blooming) hingga mewarnai air menjadi kemerahan,
pada kejadian ini tidak ada korban karena penduduk sudah tahu bahwa bila ada
air merah dan bercahaya waktu malam mereka tidak makan kerang. Pada waktu itu
kehadiran sel-sel aktif Pbc dalam sampel plankton berhasil dideteksi oleh Dr.
Ngurah Wiyadnyana, Professor Riset dari Puslit Oseanografi-LIPI. Dibandingkan
dengan Teluk Kao, kepadatan Pbc di Teluk Ambon pada waktu terjadi kasus PSP
sebenarnya tidak terlalu tinggi, yaitu sekitar 1600 sel/l, sedangkan Pbc di
Halmahera mencapai 2,3 juta sel/ml. Kejadian ini menunjukkan bahwa racun PSP
dari Pbc sudah mematikan hanya dalam hitungan ribuan sel/ml.
Kasus serupa
juga menimpa negara-negara di perairan Pasifik Barat, dan lebih banyak korban
berjatuhan antara lain di Filipina, Malaysia, Sabah dan Papua Nugini (MACLEAN
1977 dan USUP et al., 1989). Penyebabnya sama, yaitu Pyrodinium
bahamense var. compressum atau Pbc, sehingga alga ini dijuluki
sebagai alga jahat nomor satu di Asia Tenggara. Pbc bahkan sudah ada sejak
zaman Eosen sekitar 40-50 tahun yang lalu. Penemunya memberi nama Hemicystodinium
zoharyi yang sebenarnya identik dengan kista modern Pyrodinium bahamense
var. Compressum (ANDERSON & MOREL, 1989).
Balai Besar
Budidaya Laut Lampung (BBL) DKP yang melakukan monitoring tingkat kesehatan
lingkungan sebenarnya sudah mencatat kehadiran alga paling berbahaya Pbc dalam
sampel plankton dari Teluk Hurun. Namun karena ketidak tahuan dan tidak
berdampak langsung pada komoditi budidaya ikan kerapu di keramba, kehadiran Pbc
tidak disadari sebagaiancaman terpaparnya sumberdaya perikanan oleh PSP. Pbc
dulu didaftar oleh BBL sebagai Goniodoma. Kasus PSP di Lampung belum ada
atau mungkin ada tapi tidak dilaporkan, karena barangkali kekerangan bukan
merupakan komoditi penting di daerah ini
Secara terpisah, Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (BPPMHP) dalam rangka Program Sanitasi Kekerangan di Indonesia, telah melakukan monitoring sejak tahun 1999 dalam konteks menjaga mutu dan keamanan komoditi ekspor kerangan, mendeteksi dua daerah yang sering terpapar oleh PSP, yaitu Lampung dan Maluku (MUTAQIEN et al., 2004).
Kasus HAB di Negara-Negara Lain
Pyrodinium
bahamense adalah dinoflagellata euryhaline tropis/subtropis yang
menghasilkan saxitoxins dan dapat menyebabkan keracunan kerang paralitik (PSP).
Spesies ini telah menyebabkan lebih banyak penyakit dan kematian pada manusia
daripada paralytic shellfish toxin (PST) lainnya yang memproduksi
dinoflagellata, dengan serentetan mekar beracun di Indo-Pasifik dan pantai
Pasifik Amerika Tengah (Usup et al., 2012). Pyrodinium bahamense,
bersama dengan Gymnodinium catenatum Graham yang beracun, telah
menyebabkan konsekuensi langsung yang merugikan bagi kesehatan manusia,
industri akuakultur, pariwisata, dan fungsi ekosistem di perairan pesisir
Meksiko (Hernández-Becerril et al., 2007; García-Mendoza et al.,
2016) . Pyrodinium bahamense memiliki kepentingan khusus karena telah
menyebabkan dampak yang signifikan terhadap kesehatan manusia, terutama di
Pasifik Meksiko selatan. Efek ganggang berbahaya dapat meningkat dan meluas
sebagai konsekuensi dari peningkatan eutrofikasi laut lokal (Heisler et al.,
2008) dan perubahan iklim laut (Hallegraeff, 2010).
Secara global P. bahamense terutama didistribusikan di daerah tropis di kedua belahan bumi. Tahap vegetatif telah dilaporkan menjadi tiga wilayah, Laut Karibia dan Amerika Tengah, Teluk Persia dan Laut Merah, dan Pasifik barat; sedangkan distribusi stadium kista lebih luas, terutama di daerah pesisir tropis hingga subtropis baik dari wilayah Atlantik dan Pasifik, serta Laut Karibia (Usup et al., 2012). Pyrodinium bahamense, merupakan salah satu organisme berbahaya yang paling kritis (HABs) di perairan pesisir Asia Selatan (Mertens et al., 2015).
Dampak Toxic
Pyrodinium
bahamense telah menyebabkan lebih banyak penyakit dan kematian manusia
daripada dinoflagellata penghasil PST lainnya di Meksiko. Perairan pasifik
Meksiko Tenggara telah menjadi daerah yang paling terkena dampak, khususnya
Teluk Tehuantepec, serta Guerrero dan Michoacán . Dari tahun 1989 hingga 2007
toksisitas kerang mencapai konsentrasi di atas batas yang diizinkan untuk
konsumsi manusia (800 g STX eq kg-1), dan akibatnya menyebabkan 200 kasus pada
manusia, dengan 15 kematian (Hernández-Becerril et al., 2007). Sebagai
perbandingan, Gymnodinium catenatum adalah spesies beracun lain yang terkait
dengan kematian PSP di Meksiko, dari tahun 1989 hingga 2015 telah menyebabkan,
di beberapa wilayah Teluk California, 37 kasus PSP manusia dan tiga kematian
(Mee et al., 1986; Cortés-Altamirano dan Núñez-Pasten, 1992;
Núñez-Vázquez et al., 2016).
Menurut
daftar Komisi Federal untuk Perlindungan terhadap Risiko Sanitasi (COFEPRIS,
dengan akronimnya dalam bahasa Spanyol) dari 118 HAB yang telah dilaporkan dari
tahun 2004 hingga 2014 di Meksiko, 12% terkait dengan P. bahamense. Entitas
yang paling terpengaruh adalah Oaxaca, diikuti oleh Guerrero dan Chiapas (COFEPRIS,
2018). HAB Pyrodinium bahamense juga telah dikaitkan dengan fauna laut yang
terancam punah (penyu dan cetacea) dengan kepentingan ekologis, yang dalam
beberapa kasus menyebabkan kematian massal, dan penetapan penutupan pencegahan
(COFEPRIS, 2018).
Daftar Referensi
ADNAN, Q. dan A. B. SUTOMO 1988. Kasus keracunan kerang di Balang
Tiku, Kaltim. "Pasang Merah". Suara Pembaruan, Jumat 11 Maret
1988.
ANDERSON, D.M. and F.M. MOREL 1989. The seeding to two red blooms by
the germination of benthic Gonyaulax tamarensis hypnocysts. Estuarine
Coastal Marine Sciences 8 : 279-293.
Balech, E. (1985). A redescription of Pyrodinium
bahamense plate (Dinoflagellata). Rev. Palaeobot. Palynol. 45,
17–34. doi: 10.1016/0034-6667(85)90063-6
Cortés-Altamirano, R., and Núñez-Pasten, A. (1992). Doce años
(1979-1990) de registros de mareas rojas en la Bahía de Mazatlán, Sin.,
México. An. Inst. Cienc. Mar Limnol. Univ. Nac. Auton. Mex. 19,
113–121.
García-Mendoza, E., Quijano-Scheggia, S. I., Olivos-Ortiz,
A., Núñez-Vázquez, E. J., and Pérez-Morales, A. (2016). “Introducción general,”
in Florecimientos Algales Nocivos en México, eds E. García-Mendoza,
S. I. Quijano-Scheggia, A. Olivos-Ortiz, and E. J. Núñez-Vázquez (Ensenada:
CICESE), 10–20.
Hallegraeff, G.M. 2002. Harmful algal blooms : a
global overview. In: Hallegraeff, G.M., D.M. Anderson and A.D. Cembella (eds.),
Manual on Harmful Marine Microalgae, Monographs on oceanographic
methodology 11, Unesco, Paris : 25-49
Hallegraeff, G. M. (2010). Ocean climate change,
phytoplankton community responses, and harmful algal blooms: a formidable
predictive challenge. J. Phycol. 46, 220–235. doi:
10.1111/j.1529-8817.2010.00815.x
Heisler, J., Glibert, P. M., Burkholder, J. M., Anderson, D.
M., Cochlan, W., Dennison, W. C., et al. (2008). Eutrophication and harmful
algal blooms: a scientific consensus. Harmful Algae 8, 3–13.
doi: 10.1016/j.hal.2008.08.006
Hernández-Becerril, D. U., Alonso-Rodríguez, R.,
Álvarez-Góngora, C., Barón-Campis, S. A., Ceballos-Corona, G.,
Herrera-Silveira, J., et al. (2007). Toxic and harmful marine phytoplankton and
microalgae (HABs) in Mexican Coasts. J. Environ. Sci. Health A Tox.
Hazard Subst. Environ. Eng. 42, 1349–1363. doi:
10.1080/10934520701480219
MACLEAN, J.L. 1977. Observation on Pyrodinium bahamense Plate,
a toxic dinoflagellate in Papua New Guinea. - Limnol. Oceanogr. 22 :
234-294.
Mee, L. D., Espinosa, M., and Díaz, G. (1986). Paralytic
shellfish poisoning with a Gymnodinium catenatum red tide on
the Pacific Coast of Mexico. Mar. Environ. Res. 19, 77–92.
doi: 10.1016/0141-1136(86)90040-1
Mertens, K. N., Wolny, J., Carbonell-Moore, C., Bogus, K.,
Ellegaard, M., Limoges, A., et al. (2015). Taxonomic re-examination of the
toxic armored dinoflagellate Pyrodinium bahamense Plate 1906:
can morphology or LSU sequencing separate P. bahamense var.
compressum from var. bahamense? Harmful Algae 41, 1–24. doi:
10.1016/j.hal.2014.09.010
Morquecho, L.,
Alonso-Rodríguez, R., and Martínez-Tecuapacho, G. A. (2014). Cyst morphology,
germination characteristics, and potential toxicity of Pyrodinium
bahamense in the Gulf of California. Bot. Mar. 57,
303–314. doi: 10.1515/bot-2013-0121
Morquecho, L. 2019. “Pyrodinium bahamense One the Most Significant Harmful Dinoflagellate in Mexico", https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fmars.2019.00001/full, diakses pada 17 Desember 2021 pukul 09.21
MUTAQIEN, A.; T. PRATIWI dan B. SUSILOWATI 2004. Monitoring sanitasi
kekerangan di Indonesia. Makalah disampaikan dalam National Workshop on
HAB Research and Monitoring in Indonesia : Integrated Research and Monitoring
HAB for Aquatic Resources and Human Health Protection in Lampung Bay, LIPI,
Jakarta, 2-3 March 2004.
Núñez-Vázquez, E. J., Band-Schmidt, C. J., Hernández-Sandoval,
F. E., Bustillos-Guzmán, J. J., López-Cortés, D. J., et al. (2016). “Impactos
de los FAN en la salud pública y animal (silvestres y de cultivo) en el Golfo
de California,” in Florecimientos Algales Nocivos en México, eds E.
García-Mendoza, S. I. Quijano-Scheggia, A. Olivos-Ortiz, and E. J.
Núñez-Vázquez (Ensenada: CICESE), 196–212.
Panggabean, L, M, G. 2006. Kista Dinoflagellata Penyebab HAB. Bidang
Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta. Oseana, Volume
XXXI, Nomor 2. 11 – 18.
Seliger, H. H., Carpenter, J. H., Loftus, M., Biggley, W. H., and
McElroy, W. D. (1971). Bioluminescence and phytoplankton successions in Bahia
Fosforescente, Puerto Rico. Limnol. Oceanogr. 16, 608–622. doi:
10.4319/lo.1971.16.4.0608
Steidinger, K. A., Tester, L. S., and Taylor, F. J. R.
(1980). A redescription of Pyrodinium bahamense var. compressa
(Böhm) stat. nov. from Pacific red tides. Phycologia 19,
329–337. doi: 10.2216/i0031-8884-19-4-329.1
USUP, G.; A. AHMAD and N. ISMAIL 1989. Pyrodinium bahamense var.
compressum red tide studies in Sabah, Malaysia. In : Hallegraeff, G.M. and
J.L. Maclean (eds), Biology, epidemiology and management of
Pyrodinium red tides, ICLARM, Manila. 97-110.
Usup, G., Ahmad, A., Matsuoka, K., Lim, T., and Leaw, C. P.
(2012). Biology, ecology and bloom dynamics of the toxic marine
dinoflagellate Pyrodinium bahamense. Harmful Algae 14,
301–312. doi: 10.1016/j.hal.2011.10.026
Wall, D., and Dale, B. (1969). The “hystrichosphaerid”
resting spore of the dinoflagellate Pyrodinium bahamense plate
1906. J. Phycol. 5, 140–149. doi:
10.1111/j.1529-8817.1969.tb02595.x
WIADNYANA, N.N.; A. SEDIANA; T. SIDABUTAR and S.A. YUSUF 1994. Blooms
of the dinoflagellate Pyrodinium bahamense var. compressum in Kao Bay, North
Mollucas. Proc. IOC-WEATPAC third International Science Symposium, Bali,
Indonesia, 22-26 November 1994 : 104-112.
0 komentar:
Posting Komentar