Selamat datang!

Mari Bergabung!

Bersama Menambah Ilmu!

Membahas Informasi-Informasi Menarik Seputar Dunia Perikanan.

" "

Konten
WISATA

Informasi mengenai destinasi wisata perairan yang menarik.

LINGKUNGAN

Informasi terkait ekosistem beserta biota perairan.

REVIEW KARYA ILMIAH

Review singkat dari beberapa karya tulis ilmiah dalam bidang perikanan.

BERITA

Informasi mengenai isu-isu yang terjadi terkait pemanfaatan sumberdaya perikanan.

FOTOGRAFI

Berisi foto dan gambar menarik terkait objek-objek perairan.

Postingan

Organisme Beracun Penyebab Harmful Algal Bloom (HAB) : Alga Pyrodinium bahamense

 

Harmful Algal Bloom (HAB) merupakan kejadian dimana sekelompok microalgae yang berbahaya berkembang secara massal dan mendominasi kolom air. Kejadian tersebut dapat mengakibatkan perubahan komunitas fitoplankton serta masalah lingkungan. HALLEGRAEFF (2002), mendefenisikan HAB sebagai fenomena perairan dimana terjadi poliferasi alga berbahaya, sehingga menimbulkan masalah bagi lingkungan berdasarkan konsep dari Intergovernmental Oceano-graphic Comission, IOC-UNESCO. Kerugian yang diakibatkan oleh fenomena tersebut yaitu, kematian massal dari ikan-ikan budidaya, sumber makanan dari laut yang beracun, ketidaknyamanan wisatawan pantai akibat gatal-gatal yang ditimbulkan dan sebagainya. Fenomena HAB sebagaian besar disebabkan oleh alga yang tergolong dalam kelompok dinoflagellata.


Sumber Toksin

Dinoflagellata dapat tumbuh dalam satu populasi monospesies yang besar karena memiliki sel-sel renang yang saling tarik-menarik dengan sesamanya. Sebagai contoh, sel-sel aktif penyebab PSP, Pyrodinium bahamense var. compressum di Teluk Kao, Halmahera misalnya bisa mencapai kepadatan 2,3 juta sel/ml dalam sampel plankton.

Pada umumnya, sel-sel vegetative yang dimiliki oleh dinoflagellata dapat menghasilkan toksin bioaktif yang berbahaya sebab dapat menghambat pertumbuhan fitopplankton lain serta dapat larut dalam air ataupun lemak.

Saat ini terdapat 11 marga dari dinoflagellate yang beracun, yakni Alexandrium, Amphidinium, Dinophysis, Ostreopsis, Gambierdiscus, Gonyaulax, Gymnodinium, Gyrodinium, Prorocentrum, Ptychodiscus, Pyrodinium serta 7 marga lain yang memiliki cangkang (armoured spesies), dan 4 spesies tanpa cangkang (unarmoured species).

Bahaya spesies beracun adalah peranannya dalam rantai dasar makanan dalam ekosistem. Toksin bioaktif dinoflagellata bekerja ada sistem hemolitik, neurotoksik dan gastrointestinal konsumernya. Diantara biota konsumer lainnya, bangsa kekerangan adalah konsumen mikroalgae terbesar. Golongan'filter feeder' yang berarti makan secara penyaringan tersebut mampu menyaring melalui insangnya partikel fitoplankton dalam jutaan sel/menit. Jika dinoflagellata toksik ikut termakan toksinnya akan terakumulasi dalam tubuh kerang tanpa 'menyakitinya'. Kerang beracun hidup normal dan kelihatannya normal, rasanya tidak berbeda dengan kerang yang tidak terkontaminasi, tetapi sudah menjadi sumber makanan beracun bagi lingkungannya. Dampak kontaminasi sumber makanan karena HAB antara lain 'Paralytic Shelfish Poisoning' (PSP), 'Amnesic Shellfish Poisoning' (ASP), 'Diarrhetic Shellfish Poisoning' (DSP), 'Neurotoxic Shellfish Poisoning' (NSP) 'Ciguatera Fish Poisoning' (CFP), tergantung jenis alga yang dikonsumsi oleh kekerangan. PSP paling berbahaya karena dapat menyebabkan kematian. PSP tidak hanya fatal pada manusia, tetapi bisa terjadi pada burung-burung, mamalia laut yang makan kerang beracun. Jenis-jenis dinoflagellata yang telah dilaporkan memproduksi PSP yaitu Alexandrium catenella, A. cohorticula, A. fundyense, A. fraterculus, A. leei, A. minutum, A. temarense, Gymnodinium catenatum dan Pyrodinium bahamense var. compressum atau Pbc.


Ciri-ciri Pyrodinium bahamense

Pyrodinium bahamense dicirikan oleh bioluminesensi tinggi (Seliger et al., 1971), siklus seksual heterotalik (Wall dan Dale, 1969), dan profil toksin sederhana (dc-STX, STX, neoSTX, B1 dan B2) (Usup et al., 2012). Pada tahun 1980, status taksonomi spesies dinaikkan menjadi varietas, berdasarkan variasi morfologi pada tahap motil, kemampuan produksi toksin PSP, dan distribusi geografis (Steidinger et al., 1980). Namun, berdasarkan analisis morfologi dan filogenetik spesimen (tahapan motil dan kista) dari 13 wilayah pesisir di berbagai perairan tropis dan subtropis, Mertens et al. (2015) menunjukkan bahwa tidak ada kriteria yang konsisten untuk memisahkan secara tegas kedua varietas hanya berdasarkan morfologi. Selain itu, Mertens et al. (2015) mengungkapkan bahwa dalam clade Pyrodinium, baik ribotipe Indo-Pasifik dan Atlantik-Karibia, P. bahamense adalah spesies yang kompleks.

Gambar 1. Pyrodinium bahamense di Meksiko: A. Peta sebaran Pyrodinium bahamense; B. Sel vegetatif soliter; C. Sel vegetatif berpasangan; D. Kista hidup utuh dengan tubuh merah yang berakumulasi; E. Kista kosong menunjukkan proses chorate. Bilah skala = 20 m.

Menurut Balech (1985), sel-sel P. bahamense berbentuk polihedral dan bulat tidak beraturan, dengan puncak-puncak yang kuat di sepanjang jahitan dan cenderung terkompresi ketika mereka berada dalam rantai. Kebanyakan sel memiliki tulang belakang antapikal kiri yang berkembang dengan baik dan tulang belakang kanan yang lebih kecil yang merupakan perpanjangan dari daftar sulkus (Gambar 1A). Teka memiliki permukaan granular dan banyak pori-pori trikokista, terdapat pori di lempeng apikal 4′, dan kompleks pori apikal terdiri dari lempeng penutup granular berbentuk koma dan pori-pori 9-14. Kista berbentuk sferis, tipe chorate, dengan 152 prosesus tubular oblate dengan panjang yang bervariasi dan tersusun secara acak (Gambar 1D,E). Dinding yang tidak berwarna itu berlapis dua, dengan permukaan luar keropeng dan permukaan bagian dalam yang halus. Dalam kista hidup, sitoplasma kuning-hijau membungkus tubuh akumulasi merah (Gambar 1D) dan banyak butir pati (Morquecho et al., 2014). Tahap vegetatif mudah diidentifikasi dengan peralatan mikroskopis dasar, dan hampir tidak dapat dikacaukan dengan spesies lain. Sebaliknya, karena kesamaannya dengan kista dinoflagellata lain, tahap istirahat mungkin dikacaukan dengan spesies lain.


Kasus HAB di Indonesia

Terkait dengan masalah HAB karena 'blooming' Pyrodinium bahamense var. compressum atau Pbc, yaitu kasus PSP yang sudah terjadi sejak tahun 1994 di Ambon, atau bahkan terjadi sebelumnya di Balang Tiku, Kalimantan Timur. Keracunan setelah mengkonsumsi kerang tudai pernah dilaporkan menimpa hampir seluruh penduduk Desa Balang Tiku, Kalimantan Timur, pada 12 Januari 1988 (ADNAN & SUTOMO, 1988). Pada kejadian tersebut dua orang meninggal dan 68 orang dirawat di Puskesmas Nunukan. Walaupun gejala akut yang menimpa para korban tersebut mirip dengan gejala keracunan PSP, tetapi penyebab sebenarnya belum diketahui dengan jelas, karena tidak dilengkapi dengan data plankton atau toksisitas kerang yang dimakan korban. Saat kejadian, pengetahuan tentang alga beracun di daerah tersebut belum ada.

Pada bulan Juli 1994, di Lata, Ambon pernah terjadi kasus keracunan PSP, menimpa korban 3 orang anak mati dan 33 orang dewasa dirawat di rumah sakit setelah makan 'bia manis' (Hiatula chinensis) (WIYADNYANA et al., 1994). Pada waktu yang hampir bersamaan, di Teluk Kao, Halmahera alga ini juga mengalami perkembangan massal (blooming) hingga mewarnai air menjadi kemerahan, pada kejadian ini tidak ada korban karena penduduk sudah tahu bahwa bila ada air merah dan bercahaya waktu malam mereka tidak makan kerang. Pada waktu itu kehadiran sel-sel aktif Pbc dalam sampel plankton berhasil dideteksi oleh Dr. Ngurah Wiyadnyana, Professor Riset dari Puslit Oseanografi-LIPI. Dibandingkan dengan Teluk Kao, kepadatan Pbc di Teluk Ambon pada waktu terjadi kasus PSP sebenarnya tidak terlalu tinggi, yaitu sekitar 1600 sel/l, sedangkan Pbc di Halmahera mencapai 2,3 juta sel/ml. Kejadian ini menunjukkan bahwa racun PSP dari Pbc sudah mematikan hanya dalam hitungan ribuan sel/ml.

Kasus serupa juga menimpa negara-negara di perairan Pasifik Barat, dan lebih banyak korban berjatuhan antara lain di Filipina, Malaysia, Sabah dan Papua Nugini (MACLEAN 1977 dan USUP et al., 1989). Penyebabnya sama, yaitu Pyrodinium bahamense var. compressum atau Pbc, sehingga alga ini dijuluki sebagai alga jahat nomor satu di Asia Tenggara. Pbc bahkan sudah ada sejak zaman Eosen sekitar 40-50 tahun yang lalu. Penemunya memberi nama Hemicystodinium zoharyi yang sebenarnya identik dengan kista modern Pyrodinium bahamense var. Compressum (ANDERSON & MOREL, 1989).

Balai Besar Budidaya Laut Lampung (BBL) DKP yang melakukan monitoring tingkat kesehatan lingkungan sebenarnya sudah mencatat kehadiran alga paling berbahaya Pbc dalam sampel plankton dari Teluk Hurun. Namun karena ketidak tahuan dan tidak berdampak langsung pada komoditi budidaya ikan kerapu di keramba, kehadiran Pbc tidak disadari sebagaiancaman terpaparnya sumberdaya perikanan oleh PSP. Pbc dulu didaftar oleh BBL sebagai Goniodoma. Kasus PSP di Lampung belum ada atau mungkin ada tapi tidak dilaporkan, karena barangkali kekerangan bukan merupakan komoditi penting di daerah ini

Secara terpisah, Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (BPPMHP) dalam rangka Program Sanitasi Kekerangan di Indonesia, telah melakukan monitoring sejak tahun 1999 dalam konteks menjaga mutu dan keamanan komoditi ekspor kerangan, mendeteksi dua daerah yang sering terpapar oleh PSP, yaitu Lampung dan Maluku (MUTAQIEN et al., 2004).


Kasus HAB di Negara-Negara Lain

Pyrodinium bahamense adalah dinoflagellata euryhaline tropis/subtropis yang menghasilkan saxitoxins dan dapat menyebabkan keracunan kerang paralitik (PSP). Spesies ini telah menyebabkan lebih banyak penyakit dan kematian pada manusia daripada paralytic shellfish toxin (PST) lainnya yang memproduksi dinoflagellata, dengan serentetan mekar beracun di Indo-Pasifik dan pantai Pasifik Amerika Tengah (Usup et al., 2012). Pyrodinium bahamense, bersama dengan Gymnodinium catenatum Graham yang beracun, telah menyebabkan konsekuensi langsung yang merugikan bagi kesehatan manusia, industri akuakultur, pariwisata, dan fungsi ekosistem di perairan pesisir Meksiko (Hernández-Becerril et al., 2007; García-Mendoza et al., 2016) . Pyrodinium bahamense memiliki kepentingan khusus karena telah menyebabkan dampak yang signifikan terhadap kesehatan manusia, terutama di Pasifik Meksiko selatan. Efek ganggang berbahaya dapat meningkat dan meluas sebagai konsekuensi dari peningkatan eutrofikasi laut lokal (Heisler et al., 2008) dan perubahan iklim laut (Hallegraeff, 2010).

Secara global P. bahamense terutama didistribusikan di daerah tropis di kedua belahan bumi. Tahap vegetatif telah dilaporkan menjadi tiga wilayah, Laut Karibia dan Amerika Tengah, Teluk Persia dan Laut Merah, dan Pasifik barat; sedangkan distribusi stadium kista lebih luas, terutama di daerah pesisir tropis hingga subtropis baik dari wilayah Atlantik dan Pasifik, serta Laut Karibia (Usup et al., 2012). Pyrodinium bahamense, merupakan salah satu organisme berbahaya yang paling kritis (HABs) di perairan pesisir Asia Selatan (Mertens et al., 2015).


Dampak Toxic

Pyrodinium bahamense telah menyebabkan lebih banyak penyakit dan kematian manusia daripada dinoflagellata penghasil PST lainnya di Meksiko. Perairan pasifik Meksiko Tenggara telah menjadi daerah yang paling terkena dampak, khususnya Teluk Tehuantepec, serta Guerrero dan Michoacán . Dari tahun 1989 hingga 2007 toksisitas kerang mencapai konsentrasi di atas batas yang diizinkan untuk konsumsi manusia (800 g STX eq kg-1), dan akibatnya menyebabkan 200 kasus pada manusia, dengan 15 kematian (Hernández-Becerril et al., 2007). Sebagai perbandingan, Gymnodinium catenatum adalah spesies beracun lain yang terkait dengan kematian PSP di Meksiko, dari tahun 1989 hingga 2015 telah menyebabkan, di beberapa wilayah Teluk California, 37 kasus PSP manusia dan tiga kematian (Mee et al., 1986; Cortés-Altamirano dan Núñez-Pasten, 1992; Núñez-Vázquez et al., 2016).

Menurut daftar Komisi Federal untuk Perlindungan terhadap Risiko Sanitasi (COFEPRIS, dengan akronimnya dalam bahasa Spanyol) dari 118 HAB yang telah dilaporkan dari tahun 2004 hingga 2014 di Meksiko, 12% terkait dengan P. bahamense. Entitas yang paling terpengaruh adalah Oaxaca, diikuti oleh Guerrero dan Chiapas (COFEPRIS, 2018). HAB Pyrodinium bahamense juga telah dikaitkan dengan fauna laut yang terancam punah (penyu dan cetacea) dengan kepentingan ekologis, yang dalam beberapa kasus menyebabkan kematian massal, dan penetapan penutupan pencegahan (COFEPRIS, 2018).




Daftar Referensi

ADNAN, Q. dan A. B. SUTOMO 1988. Kasus keracunan kerang di Balang Tiku, Kaltim. "Pasang Merah". Suara Pembaruan, Jumat 11 Maret 1988.

ANDERSON, D.M. and F.M. MOREL 1989. The seeding to two red blooms by the germination of benthic Gonyaulax tamarensis hypnocysts. Estuarine Coastal Marine Sciences 8 : 279-293.

Balech, E. (1985). A redescription of Pyrodinium bahamense plate (Dinoflagellata). Rev. Palaeobot. Palynol. 45, 17–34. doi: 10.1016/0034-6667(85)90063-6

Cortés-Altamirano, R., and Núñez-Pasten, A. (1992). Doce años (1979-1990) de registros de mareas rojas en la Bahía de Mazatlán, Sin., México. An. Inst. Cienc. Mar Limnol. Univ. Nac. Auton. Mex. 19, 113–121.

García-Mendoza, E., Quijano-Scheggia, S. I., Olivos-Ortiz, A., Núñez-Vázquez, E. J., and Pérez-Morales, A. (2016). “Introducción general,” in Florecimientos Algales Nocivos en México, eds E. García-Mendoza, S. I. Quijano-Scheggia, A. Olivos-Ortiz, and E. J. Núñez-Vázquez (Ensenada: CICESE), 10–20.

Hallegraeff, G.M. 2002. Harmful algal blooms : a global overview. In: Hallegraeff, G.M., D.M. Anderson and A.D. Cembella (eds.), Manual on Harmful Marine Microalgae, Monographs on oceanographic methodology 11, Unesco, Paris : 25-49

Hallegraeff, G. M. (2010). Ocean climate change, phytoplankton community responses, and harmful algal blooms: a formidable predictive challenge. J. Phycol. 46, 220–235. doi: 10.1111/j.1529-8817.2010.00815.x

Heisler, J., Glibert, P. M., Burkholder, J. M., Anderson, D. M., Cochlan, W., Dennison, W. C., et al. (2008). Eutrophication and harmful algal blooms: a scientific consensus. Harmful Algae 8, 3–13. doi: 10.1016/j.hal.2008.08.006

Hernández-Becerril, D. U., Alonso-Rodríguez, R., Álvarez-Góngora, C., Barón-Campis, S. A., Ceballos-Corona, G., Herrera-Silveira, J., et al. (2007). Toxic and harmful marine phytoplankton and microalgae (HABs) in Mexican Coasts. J. Environ. Sci. Health A Tox. Hazard Subst. Environ. Eng. 42, 1349–1363. doi: 10.1080/10934520701480219

MACLEAN, J.L. 1977. Observation on Pyrodinium bahamense Plate, a toxic dinoflagellate in Papua New Guinea. - Limnol. Oceanogr. 22 : 234-294.

Mee, L. D., Espinosa, M., and Díaz, G. (1986). Paralytic shellfish poisoning with a Gymnodinium catenatum red tide on the Pacific Coast of Mexico. Mar. Environ. Res. 19, 77–92. doi: 10.1016/0141-1136(86)90040-1

Mertens, K. N., Wolny, J., Carbonell-Moore, C., Bogus, K., Ellegaard, M., Limoges, A., et al. (2015). Taxonomic re-examination of the toxic armored dinoflagellate Pyrodinium bahamense Plate 1906: can morphology or LSU sequencing separate P. bahamense var. compressum from var. bahamense? Harmful Algae 41, 1–24. doi: 10.1016/j.hal.2014.09.010

Morquecho, L., Alonso-Rodríguez, R., and Martínez-Tecuapacho, G. A. (2014). Cyst morphology, germination characteristics, and potential toxicity of Pyrodinium bahamense in the Gulf of California. Bot. Mar. 57, 303–314. doi: 10.1515/bot-2013-0121

Morquecho, L. 2019. “Pyrodinium bahamense One the Most Significant Harmful Dinoflagellate in Mexico", https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fmars.2019.00001/full, diakses pada 17 Desember 2021 pukul 09.21

MUTAQIEN, A.; T. PRATIWI dan B. SUSILOWATI 2004. Monitoring sanitasi kekerangan di Indonesia. Makalah disampaikan dalam National Workshop on HAB Research and Monitoring in Indonesia : Integrated Research and Monitoring HAB for Aquatic Resources and Human Health Protection in Lampung Bay, LIPI, Jakarta, 2-3 March 2004.

Núñez-Vázquez, E. J., Band-Schmidt, C. J., Hernández-Sandoval, F. E., Bustillos-Guzmán, J. J., López-Cortés, D. J., et al. (2016). “Impactos de los FAN en la salud pública y animal (silvestres y de cultivo) en el Golfo de California,” in Florecimientos Algales Nocivos en México, eds E. García-Mendoza, S. I. Quijano-Scheggia, A. Olivos-Ortiz, and E. J. Núñez-Vázquez (Ensenada: CICESE), 196–212.

Panggabean, L, M, G. 2006. Kista Dinoflagellata Penyebab HAB. Bidang Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta. Oseana, Volume XXXI, Nomor 2. 11 – 18.

Seliger, H. H., Carpenter, J. H., Loftus, M., Biggley, W. H., and McElroy, W. D. (1971). Bioluminescence and phytoplankton successions in Bahia Fosforescente, Puerto Rico. Limnol. Oceanogr. 16, 608–622. doi: 10.4319/lo.1971.16.4.0608

Steidinger, K. A., Tester, L. S., and Taylor, F. J. R. (1980). A redescription of Pyrodinium bahamense var. compressa (Böhm) stat. nov. from Pacific red tides. Phycologia 19, 329–337. doi: 10.2216/i0031-8884-19-4-329.1

USUP, G.; A. AHMAD and N. ISMAIL 1989. Pyrodinium bahamense var. compressum red tide studies in Sabah, Malaysia. In : Hallegraeff, G.M. and J.L. Maclean (eds), Biology, epidemiology and management of Pyrodinium red tides, ICLARM, Manila. 97-110.

Usup, G., Ahmad, A., Matsuoka, K., Lim, T., and Leaw, C. P. (2012). Biology, ecology and bloom dynamics of the toxic marine dinoflagellate Pyrodinium bahamenseHarmful Algae 14, 301–312. doi: 10.1016/j.hal.2011.10.026

Wall, D., and Dale, B. (1969). The “hystrichosphaerid” resting spore of the dinoflagellate Pyrodinium bahamense plate 1906. J. Phycol. 5, 140–149. doi: 10.1111/j.1529-8817.1969.tb02595.x

WIADNYANA, N.N.; A. SEDIANA; T. SIDABUTAR and S.A. YUSUF 1994. Blooms of the dinoflagellate Pyrodinium bahamense var. compressum in Kao Bay, North Mollucas. Proc. IOC-WEATPAC third International Science Symposium, Bali, Indonesia, 22-26 November 1994 : 104-112.






Kontak Saya

Diberdayakan oleh Blogger.

Alamat

Rumah Tiga, Ambon.

Nomor Handphone

+6285254008722

E-mail

yohanesangwar@gmail.com